Imperfect: Karir, Cinta, dan Timbangan

Pada 6 Desember 2019, Ubah Stigma berkesempatan menghadiri undangan pemutaran perdana film Imperfect: Karir, Cinta, dan Timbangan, sebuah adaptasi dari novel karya Meira Anastasia yang digarap oleh Ernest Prakasa. Film yang tayang serentak di seluruh bioskop di Indonesia pada 19 Desember ini bercerita tentang Rara (Jessica Mila) dan kisahnya menghadapi insecurities yang membuat perjalanan hidupnya selalu dikaitkan dengan isu self-love.
Film Imperfect merupakan sebuah bentuk kesadaran bahwa menyinggung dan menghakimi citra tubuh seseorang (body shaming) telah menjadi bagian dari kebudayaan di masyarakat Indonesia. Mungkin sebagian besar dari pembaca pernah mengalami situasi disaat bertegur sapa dengan kerabat atau anggota keluarga, hal pertama yang diucapkan biasanya adalah, “kamu gendutan ya?”. Tanpa kita sadari, ucapan tersebut merupakan satu bentuk body shaming dan tentu tidak semua orang dapat menghadapinya dengan baik. Untuk banyak orang hal itu membuat mereka merasa tidak nyaman menjadi diri mereka sendiri dan mulai berpikir bahwa dirinya tidak cukup baik.
Pusing Mama liat kamu udah kayak ikan paus terdampar gini.” — Debby (Karina Suwandhi)
Dohnt, Tiggemann, dan Peer (2005) mengungkapkan bahwa orang tua sering menyatakan persetujuan atau ketidaksetujuan mereka terhadap penampilan orang lain, termasuk anak mereka sendiri. Proses inilah yang berperan penting terhadap terciptanya stigma terhadap citra tubuh tersebut. Disamping peran orang tua, lingkungan sosial merupakan faktor lain yang berpengaruh terhadap persepsi diri seseorang. Contoh lain terlihat dari sosok teman-teman kantor Rara dan kerabat Debby yang selalu mengomentari penampilan fisik Rara.
Tapi masalahnya di industri kita ini, isi kepala aja engga cukup, penampilan juga penting.” — Kelvin (Dion Wiyoko)
Tubuh merupakan komponen pertama dari terbentuknya diri, yang kemudian berkembang secara fisik maupun psikologis melalui proses yang disebut ontogenesis (Moore, Mealiea, Garon, dan Povinelli 2007). Hubungan seseorang dengan tubuhnya dimulai dari usia yang sangat dini dan cenderung dipengaruhi oleh orang tua. Tanpa perlu membeberkan plot, melalui trailer film sudah terlihat bagaimana ibu Rara, Debby, selalu mengungkit isu standar kecantikan dimana wanita harus tampil ramping.
Body shaming yang telah menjadi bagian dari kebudayaan membuat isu tersebut tidak lagi terlihat penting. Di keseluruhan film, penyampaian isu ini pun disajikan dengan unsur komedi, membuat film ringan untuk dicerna namun menekankan isu insecurities pada setiap aspek film. Insecurities secara garis besar hanya terlihat dialami oleh pemeran utamanya. Tetapi ternyata, isu ini juga dialami setiap karakternya dengan aspek yang berbeda-beda. Debby yang menua, Lulu yang harus selalu tampil sempurna, Marsha yang tidak secemerlang Rara, Kelvin dengan isu kepercayaan sang ibu, dan sebagainya.
Film Imperfect: Karir, Cinta, dan Timbangan merupakan sebuah bukti nyata stigma di masyarakat Indonesia terhadap citra tubuh dan ekspektasi orang lain terhadap kita masih sangat kuat, terutama pada kaum wanita. Keragaman budaya yang dimiliki bangsa ini hanya mengacu pada suatu standar kecantikan yang tidak masuk akal. Terlebih lagi, dengan adanya media sosial, memaksakan semua orang untuk berlomba siapa yang hidupnya paling sempurna.
Imperfect tidak hanya berhasil mengangkat isu insecurities dan ekspektasi sekitar terhadap seseorang, tetapi juga menanamkan pesan bahwa hidup yang sempurna adalah dengan menerima ketidaksempurnaan tersebut, karena dengan begitu, kita tidak akan hidup dengan insecurities dan kekhawatiran. Seusai film, seolah-olah penonton ditinggalkan untuk melakukan refleksi diri, apakah perubahan yang kita lakukan terhadap hidup kita ditujukan untuk pengembangan diri, atau ingin lingkungan sekitar agar bisa menerima diri kita dengan memenuhi ekspektasi mereka?
Pesan yang ingin disampaikan film Imperfect: Karir, Cinta dan Timbangan untuk mengubah stigma pandangan publik terhadap ketidaksempurnaan.